Perceraian Tinggi Tandanya Pernikahan Yang Tidak Barakah, Benarkah?
Pagi ini saya mencoba
untuk searching di laman mbah Google
tentang tingkat perceraian di Indonesia. Kebetulan saya mengklik salah satu
judulnya ‘Perceraian di Depok Meningkat dalam Tiga Tahun Terakhir’ yang
diterbitkan oleh Republika bulan Januari 2017. Sebagaimana yang dilansir oleh
Republika, angka kemungkinan besar perceraian di kota Depok mencapai 3.500
pertahunnya. Jika dijumlahkan secara rata-rata se Indonesia, mungkin lebih
besar. Angka pastinya berapa, saya tidak
tahu pasti.
Saya hanya mengelus
dada, dengan angka yang cukup besar itu. Hal ini membuat saya untuk memutar
memory dulu ketika waktu mahasiswa pernah magang di Pengadilan Agama Cimahi dan
kota Bandung. Waktu itu, di ruang tunggu selalu dipenuhi pasangan suami istri
yang ingin berpisah secara hukum sah.
Apakah
tingginya angka perceraian ini sebagai tanda tidak barakahnya pernikahan? Wallahu ‘alam. Tapi ketika kita
menghayati beberapa ayat al-Qur’an dan Hadist tentang pernikahan yang barakah,
kita akan menemukan sebuah hikmah
bahwasanya pernikahan itu bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis. Lebih dari
itu, dari niat yang ikhlas karena lillahi
ta’ala hingga mempunyai keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan
kalimat laa ilaha illaLlah. Apalagi
bila keturunan banyak itu suatu hari nanti di akhirat menjadi kebanggaan bagi Rosulullah
Saw. itulah mungkin bagi saya sebagai pernikahan yang barakah.
Untuk
mencapai pernikahan yang barakah itu, diperlukan ilmu sebagai tangga untuk
menggapainya. ‘Dorongan yang meluap-luap itu kadang tidak disertai dengan
kesiapan dalam hal-hal lain, terutama dalam hal ilmu berkenaan dengan tugas
kerumahtanggaan maupun dalam memenuhi kebutuhan istri. Di antara tiga kebutuhan
yang harus dipenuhi, ada kalanya baru satu
yang ia miliki, yaitu kesiapan memenuhi kebutuhan biologis. Sedang
kebutuhan psikis dan kebutuhan maisyah (nafkah),
lazimnya kurang diperhatikan,’ Ujar Mohammad Fauzul Adhim dalam bukunya yang
terkenal itu. Nah, inilah yang harus
diperhatikan sejak dini. Menurut saya, pangkal masalahnya terletak pada hasrat
yang meluap-luap tanpa diimbangi oleh ilmu sebagaimana yang dimaksudkan oleh
Mohammad Fauzul Adhim.
Itulah
pentingnya ilmu mengenai kerumahtanggaan agar pernikahan itu barakah, baik bagi
yang belum menikah maupun yang sudah menikah. Bagaimana cara menggapai
pernikahan yang barakah, banyak sekali buku yang membahas tentang itu.
Tergantung pada pembaca, cocoknya yang mana.
Saya
menyadari jika tulisan ini masih banyak kekurangan. Tulisan ini hanyalah
kegelisahan saya mengenai tingginya
perceraian di negeri yang mayoritas muslim ini. saya teringat kata-kata
Stephen R. Covey dalam bukunya The 3rd
Alternative, kira-kira begini penafsirannya, ‘stabil atau tidak stabilnya
sebuah negara, bisa dilihat dari kondisi rumah tangga itu seperti apa. Jika
rumah tangga itu baik, negara pun akan baik. Dan bila rumah tangga itu rusak,
negara pun akan rusak.’ Wallahu ‘alam
*Catatan: Tulisan di atas pernah dimuat di Islampos. Ini Linknya. Alhmdllah baru pertama kali tulisan saya dimuat di media resmi,hehehe
![]() |
(Sumber Photo: Dream.Co.id) |
Post a Comment for "Perceraian Tinggi Tandanya Pernikahan Yang Tidak Barakah, Benarkah?"